Akulah Penjual
Aku penjual. Di ruangan yang seharusnya digunakan untuk
berbincang ketika tamu datang, meja kecil dan etalase seadanya duduk manis di
sana, menyapa dengan senyuman ketika pembeli datang. Yaa bisa disebut warung,
cukup untuk mengobati rengekan anak-anak sekitar ketika ingin jajan.
Aku penjual, dan aku bangga, karena aku pikir ini langkah
kecil untuk membuka usaha, ini peluang, seperti yang diajarkan pada pelajaran
‘Kewirausahaan’ di sekolah. Ditambah lagi sekarang yang sudah selesai dari KBM
(Kegiatan Belajar Mengajar) di sekolah, tepatnya calon alumni, tinggal menunggu
surat kelulusan dan ijazah saja.
Dikala teman-teman hanya termenung dan bersantai merasakan
kebosanan di rumah dengan penantian harapan ada panggilan dari perusahaan yang
mereka lamar, aku tak begitu merasakan hal seperti yang mereka alami. Mereka
melihatku sebagai orang beruntung, “enak kamu Fi ada warung di rumah, jadi gak
bete-bete amat, lumayan ada kegiatan dan ada pemasukan, sedangkan aku, sekolah
enggak, uang jajan juga enggak” sekiranya begitu ucap teman-teman kepadaku.
Tapi mereka tak tahu apa yang di benakku. Aku penjual, benar
dikala kebanggaan itu ada, hadir pula rasa cemas. Aku penjual tidak hanya
memikirkan diri sendiri, tapi bagaimana dengan anak-anak pelangganku. Hilir
mudik mereka ke rumahku untuk membeli jajan, bolak-balik terus. Apakah uang
mereka hanya untuk jajan ? Apakah mereka tidak belajar menabung ? Tidak belajar
untuk berhemat ? Aku makin takut menjadi penjual saat melihat anak menangis
kepada orangtuanya meminta datang ke rumahku untuk jajan lagi. Apa boleh buat
aku ? Ku hanya bisa tersenyum dan mencemaskan hal itu, apakah aku salah menjadi
penjual ?
Tapi yaa akulah penjual, yang tujuan utamanya adalah
memperoleh keuntungan, belajar usaha untuk menerapkan prinsip ekonomi. Dan ku
dengar, ketikaku sedang sibuk dengan sekolah, mereka mencariku dan mengharapku
untuk segera membuka pintu rumah, karena mereka tak punya tempat lain yang bisa
dijadikan tempat ekspresi diri menghabiskan uang.
Seperti yang kukatakan di atas, saat ini aku tak punya
kepastian status, aku pelajar menggantung. Untuk meramaikan hati, aku tambah
lagi isi warungku dengan jajanan yang lebih anak-anak, aku isi dengan jualan
nuget, otak-otak, baso goreng, telor puyuh, dan semacamnya. Karena dengan
berjualan itu, rumahku semakin ramai, puas rasanya melihat anak-anak memegang
gagang spatula goreng di depan kompor. Aku juga senang, karena ada penghasilan
lebih. Tapi aku tetap cemas, bahkan bertambah lagi kecemasanku. Ku berpikir,
apakah makanan-makanan ini sehat ? apakah ini aman untuk anak-anak ? aku tak
tahu bagaimana perusahaan makanan ini mengolahnya. Banyak berita tak sedap
meramaikan televisi tentang makanan semacam ini. Tapi mau bagaimana ? ini yang
bisa kujual dan pas dengan kantong anak-anak kecil dan modalku, tak bisa ku
melakukan hal lebih, berjualan makanan yang lebih mahal dan terjamin
kehiginiesannya sepertinya itu tidak sesuai dengan target pemasaran. Kembali
lagi, akulah penjual, yang membutuhkan pembeli untuk memutar lagi barang
daganganku dan menyisakan sedikit rupiah untuk kunikmati . Tapi aku menjamin, Inysa
Allah kegiatan di warungku aman, tak ada kecurangan yang ku perbuat demi
kepingan rupiah anak-anak itu.
Kecemasanku tak berhenti di sana, yang paling penting adalah
ini. Hingga larut malam (untuk ukuran anak-anak, sekitar 20.00-21.00) pun mereka masih saja meramaikan tempatku, senda
gurau, obrolan lucu, senyum-senyum mungil itu masih terlihat indah menemani
malamku. Aku senang, tapi lagi lagi aku takut. Karena seselesainya mereka
jajan, para orangtua mereka masih mengizinkan mereka main di luar rumah, mereka
berkumpul di salah satu rumah dari mereka, atau memainkan mainan-mainan
tradisional anak-anak desa. Pernah ku tanya “emang kalian gak belajar ?”, tapi
apa jawabnya “aku sih nanti aja”, miris mendengarnya, hatiku sedih.. Apakah
orangtua tidak peduli akan hal itu ? Apakah mereka hanya mementingkan
kesenangan anak-anak dengan jajan ? Wallahu’alam, hanya mereka yang tahu, ku
tak berani menebaknya. Ya walaupun tanpa warungku pun mereka tetap melakukan
hal yang sama, tempatku hanya tempat singgah sesaat bagi mereka.
Di lubuk hati ini sejujurnya ingin aku ajak mereka untuk
belajar bersama denganku sembari mereka jajan, tapi aku takut, aku malu. Ku
takut memalukan diri sendiri, menawarkan suatu ilmu, tapi tak bisa
mempertanggunjawabkan ketika salah memberikannya. Aku malu, jika suatu hari ku
tak bisa melakukan hal yang sama lagi karena kepentingan diri menghampiri. Ku
takut tak bisa istiqomah dengan keinginan hati ini untuk hari-hari ke depan.
Dan yang paling aku takutkan adalah, ku takut mereka tak mau mengikuti
ajakanku.
Pernah ku bilang pada salah satu sepupuku yang kelas 5 SD
ketika dia memintaku membantunya mengerjakan PR Matematika, “kalau mau belajar
denganku, tinggal ke sini aja kalau aku ada di rumah, ajakin teman-teman juga
barangkali mau”. Aku senang bisa mengatakannya dengan keyakinan pada saat itu,
tapi di hari lain aku sempat menyesal, karena aku takut tidak bisa memenuhi
janji itu. Karena ketika aku di rumah, aku butuh istirahat, dan aku pun
mengemban tugas-tugas pribadi. Minggu berikutnya, dia masih bersemangat, dia
datang untuk menyetorkan tugas menghafalkan perkalian yang kuberi. Benar saja,
sebenarnya aku masih konsist dengan ucapan itu. Aku mau, tapi aku terlalu sibuk
dengan urusan pribadiku. Beberapa kali masih berjalan, tapi lama-kelamaan mulai
hilang, entah dia bosan belajar denganku, atau memang dari diri dia sendiri
yang membuatnya seperti itu.
Jadi intinya, keresahan sedang menghantui jiwaku, apakah aku
salah membuka usaha ini yang membuatku berfikrian macam-macam tentang anak-anak
? apakah ini perasaan peduli ? api aku tidaklah
bisa bertindak. Aku bukan orang tua dari mereka yang bisa mengontrol mereka,
mengajari mereka berhemat, dan memang itu bukan hakku.
Dan tetaplah statusku adalah penjual, aku butuh mereka,
mereka butuh warungku, aku butuh rupiah mereka, dan mereka butuh isi warungku,
ku rasa itu impas jika dilihat dari segi perekonomian. Di sisi lainlah yang
menjadi keresahanku...
Sejujurnya, aku sangat ingin mengatakan hal-hal ini kepada orang
lain, tapi aku tak tahu siapa, ku berkata pada adik, dia pun mengatakan hal
yang sama, ingin ku berkata pada teman-teman, tapi kukira mereka hanya bisa
mendengarkan dan melempar senyum.
Jadi ku hanya bisa menulis dengan laptopku, mempostingnya ke
blog, dan berharap ada jawaban dari Allah melalui teman-teman di sini..
0 komentar:
Posting Komentar