Jumat, 15 Mei 2015

Akulah Penjual



Akulah Penjual

Aku penjual. Di ruangan yang seharusnya digunakan untuk berbincang ketika tamu datang, meja kecil dan etalase seadanya duduk manis di sana, menyapa dengan senyuman ketika pembeli datang. Yaa bisa disebut warung, cukup untuk mengobati rengekan anak-anak sekitar ketika ingin jajan.
Aku penjual, dan aku bangga, karena aku pikir ini langkah kecil untuk membuka usaha, ini peluang, seperti yang diajarkan pada pelajaran ‘Kewirausahaan’ di sekolah. Ditambah lagi sekarang yang sudah selesai dari KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di sekolah, tepatnya calon alumni, tinggal menunggu surat kelulusan dan ijazah saja.
Dikala teman-teman hanya termenung dan bersantai merasakan kebosanan di rumah dengan penantian harapan ada panggilan dari perusahaan yang mereka lamar, aku tak begitu merasakan hal seperti yang mereka alami. Mereka melihatku sebagai orang beruntung, “enak kamu Fi ada warung di rumah, jadi gak bete-bete amat, lumayan ada kegiatan dan ada pemasukan, sedangkan aku, sekolah enggak, uang jajan juga enggak” sekiranya begitu ucap teman-teman kepadaku.
Tapi mereka tak tahu apa yang di benakku. Aku penjual, benar dikala kebanggaan itu ada, hadir pula rasa cemas. Aku penjual tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi bagaimana dengan anak-anak pelangganku. Hilir mudik mereka ke rumahku untuk membeli jajan, bolak-balik terus. Apakah uang mereka hanya untuk jajan ? Apakah mereka tidak belajar menabung ? Tidak belajar untuk berhemat ? Aku makin takut menjadi penjual saat melihat anak menangis kepada orangtuanya meminta datang ke rumahku untuk jajan lagi. Apa boleh buat aku ? Ku hanya bisa tersenyum dan mencemaskan hal itu, apakah aku salah menjadi penjual ?
Tapi yaa akulah penjual, yang tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan, belajar usaha untuk menerapkan prinsip ekonomi. Dan ku dengar, ketikaku sedang sibuk dengan sekolah, mereka mencariku dan mengharapku untuk segera membuka pintu rumah, karena mereka tak punya tempat lain yang bisa dijadikan tempat ekspresi diri menghabiskan uang.
Seperti yang kukatakan di atas, saat ini aku tak punya kepastian status, aku pelajar menggantung. Untuk meramaikan hati, aku tambah lagi isi warungku dengan jajanan yang lebih anak-anak, aku isi dengan jualan nuget, otak-otak, baso goreng, telor puyuh, dan semacamnya. Karena dengan berjualan itu, rumahku semakin ramai, puas rasanya melihat anak-anak memegang gagang spatula goreng di depan kompor. Aku juga senang, karena ada penghasilan lebih. Tapi aku tetap cemas, bahkan bertambah lagi kecemasanku. Ku berpikir, apakah makanan-makanan ini sehat ? apakah ini aman untuk anak-anak ? aku tak tahu bagaimana perusahaan makanan ini mengolahnya. Banyak berita tak sedap meramaikan televisi tentang makanan semacam ini. Tapi mau bagaimana ? ini yang bisa kujual dan pas dengan kantong anak-anak kecil dan modalku, tak bisa ku melakukan hal lebih, berjualan makanan yang lebih mahal dan terjamin kehiginiesannya sepertinya itu tidak sesuai dengan target pemasaran. Kembali lagi, akulah penjual, yang membutuhkan pembeli untuk memutar lagi barang daganganku dan menyisakan sedikit rupiah untuk kunikmati . Tapi aku menjamin, Inysa Allah kegiatan di warungku aman, tak ada kecurangan yang ku perbuat demi kepingan rupiah anak-anak itu.
Kecemasanku tak berhenti di sana, yang paling penting adalah ini. Hingga larut malam (untuk ukuran anak-anak, sekitar 20.00-21.00) pun  mereka masih saja meramaikan tempatku, senda gurau, obrolan lucu, senyum-senyum mungil itu masih terlihat indah menemani malamku. Aku senang, tapi lagi lagi aku takut. Karena seselesainya mereka jajan, para orangtua mereka masih mengizinkan mereka main di luar rumah, mereka berkumpul di salah satu rumah dari mereka, atau memainkan mainan-mainan tradisional anak-anak desa. Pernah ku tanya “emang kalian gak belajar ?”, tapi apa jawabnya “aku sih nanti aja”, miris mendengarnya, hatiku sedih.. Apakah orangtua tidak peduli akan hal itu ? Apakah mereka hanya mementingkan kesenangan anak-anak dengan jajan ? Wallahu’alam, hanya mereka yang tahu, ku tak berani menebaknya. Ya walaupun tanpa warungku pun mereka tetap melakukan hal yang sama, tempatku hanya tempat singgah sesaat bagi mereka.
Di lubuk hati ini sejujurnya ingin aku ajak mereka untuk belajar bersama denganku sembari mereka jajan, tapi aku takut, aku malu. Ku takut memalukan diri sendiri, menawarkan suatu ilmu, tapi tak bisa mempertanggunjawabkan ketika salah memberikannya. Aku malu, jika suatu hari ku tak bisa melakukan hal yang sama lagi karena kepentingan diri menghampiri. Ku takut tak bisa istiqomah dengan keinginan hati ini untuk hari-hari ke depan. Dan yang paling aku takutkan adalah, ku takut mereka tak mau mengikuti ajakanku.
Pernah ku bilang pada salah satu sepupuku yang kelas 5 SD ketika dia memintaku membantunya mengerjakan PR Matematika, “kalau mau belajar denganku, tinggal ke sini aja kalau aku ada di rumah, ajakin teman-teman juga barangkali mau”. Aku senang bisa mengatakannya dengan keyakinan pada saat itu, tapi di hari lain aku sempat menyesal, karena aku takut tidak bisa memenuhi janji itu. Karena ketika aku di rumah, aku butuh istirahat, dan aku pun mengemban tugas-tugas pribadi. Minggu berikutnya, dia masih bersemangat, dia datang untuk menyetorkan tugas menghafalkan perkalian yang kuberi. Benar saja, sebenarnya aku masih konsist dengan ucapan itu. Aku mau, tapi aku terlalu sibuk dengan urusan pribadiku. Beberapa kali masih berjalan, tapi lama-kelamaan mulai hilang, entah dia bosan belajar denganku, atau memang dari diri dia sendiri yang membuatnya seperti itu.
Jadi intinya, keresahan sedang menghantui jiwaku, apakah aku salah membuka usaha ini yang membuatku berfikrian macam-macam tentang anak-anak ? apakah ini perasaan peduli ? api aku  tidaklah bisa bertindak. Aku bukan orang tua dari mereka yang bisa mengontrol mereka, mengajari mereka berhemat, dan memang itu bukan hakku.
Dan tetaplah statusku adalah penjual, aku butuh mereka, mereka butuh warungku, aku butuh rupiah mereka, dan mereka butuh isi warungku, ku rasa itu impas jika dilihat dari segi perekonomian. Di sisi lainlah yang menjadi keresahanku...
Sejujurnya, aku sangat ingin mengatakan hal-hal ini kepada orang lain, tapi aku tak tahu siapa, ku berkata pada adik, dia pun mengatakan hal yang sama, ingin ku berkata pada teman-teman, tapi kukira mereka hanya bisa mendengarkan dan melempar senyum.
Jadi ku hanya bisa menulis dengan laptopku, mempostingnya ke blog, dan berharap ada jawaban dari Allah melalui teman-teman di sini..

0 komentar:

Posting Komentar